Pada kesempatan kali
ini penulis akan membahas mengenai budaya dari Suku Minangkabau di Sumatera Barat
yang menganut adat matrilineal. Berikut adalah hasil reportase penulis dengan beberapa orang yang memiliki latar belakang suku Minangkabau. Matrilineal berasal dari bahasa latin yaitu mater yang berarti ibu dan linea yang
berarti garis. Jadi matrilineal adalah mengikuti garis keturunan yang ditarik
dari pihak ibu. Sementara bahasa lain dari matrilineal adalah matriarkhat yang
berasal dari bahasa yunani yaitu mater yang berarti ibu dan archein yang
berarti memerintah. Jadi matriarkhi/matriarkhat berarti kekuasaan berada di
tangan seorang ibu atau pihak perempuan
gambar 1. Rumah Gadang |
Dalam sistem keturunan
matrilineal/matriahat di Minangkabau ini, ayah bukanlah anggota dari garis
keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam
keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut samando
atau urang samando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya di
mana dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis-keturunan
itu. Secara tradisi, setidak-tidaknya, tanggung jawabnya berada di situ. Dia
adalah wali dari garis-keturunannya dan pelindung atas harta benda garis
keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah
kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya.
Tidak pula dia diberi
tempat di rumah orangtuanya (garis ibu/matrilineal) oleh karena semua bilik
hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima
suami-suami mereka di malam hari. Posisi kaum laki-laki yang goyah ini yang
memotivasi lelaki Minang untuk merantau. Maka biasanya, ketika musim libur tiba
sebuah keluarga yang datang dari perantauan akan tinggal di rumah orangtua sang
istri (ibu), sementara rumah orangtua dari sang suami (ayah) hanya menjadi
tempat singgah saja.
Begitu pula soal cucuk,
di suku minangkabau cucuk dibagi menjadi dua macam, cucuk kandung dan cucuk di
atas rumah orang. Cucuk kandung ialah anak yang lahir dari keturunan perempuan
dalam keluarga tersebut, sedangkan cucuk di atas rumah orang ialah anak yang
lahir dari keturunan laki-lakinya.
gambar 2. Pohon Silsilah (Matrilineal) |
ditambah lagi di dalam
budaya minangkabau di daerah pariaman terkenal pula dengan adat “beli” suami,
semakin tinggi status sosial pada seorang laki-laki maka akan semakin tinggi
pula harga yang harus dibayarkan pihak perempuan yang ingin menikah dengan
laki-laki tersebut. Banyak sekali budaya dalam suku ini yang menyentuh pemahaman
gender berbeda dari mayoritas. Acara lamar-melamarpun di dalam suku ini harus
pihak perempuan yang mendatangi kediaman pihak laki-laki.
“Sipisang” juga menjadi
sebuah istilah yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya di minangkabau untuk
seorang anak yang bapaknya keturunan minangkabau tetapi ibunya bukan keturunan
minangkabau.
Secara sederhana kita
bisa memetakan hipotesis bahwa dengan adanya basis kultural yang kuat tentang
peran perempuan maka masyarakat Minangkabau telah mengenal dengan baik konsep
keadilan gender. Tetapi, pada kenyataanya hipotesis tersebut tidak bisa
ditemukan kebenarannnya. Perempuan Minangkabau tetap bermain di domain
domestik, bukan turun langsung ke domain publik. Apa yang menyebabkan hal
tersebut terjadi? Salah satunya adalah penerapan standar ganda dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau. Mereka memang menggunakan sistem matrilineal yang lebih
cenderung fokus kepada perempuan, tetapi disisi lain masyarakat Minangkabau
adalah penganut ajaran Islam yang taat, dimana Islam notabene adalah ajaran
yang memiliki basis patriarki yang kuat.
Sangat bertolak belakang dengan kondisi Patrilineal yang diterapkan di kebudayaan pribadi penulis, Nanggroe Aceh Darussalam. NAD sangatlah keras akan garis keturunan laki-laki. Seperti halnya di keluarga besar saya walaupun perempuan memiliki juga suara di dalam rumah, tetapi suara laki-laki lah yang besar kemungkinan dapat ditarik dalam pencarian solusi di dalam keluarga. Terkecuali jika posisinya terdesak ataupun tidak ada lagi yang dapat dipercayakan untuk pengambilan keputusan. Hal ini menjadi perbandingan yang cukup kontras mengingat bahwa NAD dan Minangkabau adalah sesama penganut ajaran Islam, walaupun saat ini kumpul keluarga besar dalam pencarian sebuah solusi sudah sangat jarang ditemukan.
disarikan dari :
1. Naim, Mochtar. 1984. Merantau pola migrasi suku Minangkabau. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
2. diunduh dari halaman Pelaminan Minang diakses pada 17 Maret 2014 pukul 14:21 WIB http://www.pelaminanminang.com/adat-minangkabau/matrilineal.html
3. diunduh dari halaman wikipedia diakses pada 17 Maret 2014 pukul 14:19 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal
4. diunduh dari tumblr milik Irhaam diakses pada 17 Maret 2014 pukul 14:35 WIB http://irhaam.tumblr.com/post/13779739931/representasi-perempuan-di-ranah-matrilineal
Penjelasan nya cukup jelas. Tapi terlalu panjang mungkin bisa di singkat lagi. Terimakasih (89)
BalasHapusakan saya perbaiki, terimakasih atas penilaiannya :)
HapusJelas sekali isinya, saya beri nilai 90 :D
BalasHapusbagus dan mudah dipahami.saya beri nilai 90
BalasHapuslengakap dan bagus.saya beri nilai 90 han
BalasHapuslengkap dan menarik, saya beri nilai 90
BalasHapusTerima kasih, saya dapet pengetahuan kultural yg jelas dan padat! 90 buat mbak hanina:)
BalasHapus