Pengetahuan
Pengetahuan tidak bisa dipandang seperti memandang
suatu objek, dan tidak dapat dijangkau oleh tangan manusia. Pengetahuan itu dikatakan indrawi
lahir atau indrawi luar orang mencapainya secara langsung, melalui
indera, pada setiap peristiwa yang mengelilinginya.
Permasalahan kritis di sini adalah
kompleksitas pengetahuan manusia yang sulit dijangkau secara lengkap, utuh, dan
paripurna oleh budi manusia yang terbatas.
Pengetahuan selanjutnya disebut perseptif, ketika sambil muncul secara
spontan, pengetahuan membuat seseorang menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, seperti
gerakan, sikap, tingkah laku, dll. Ada juga yang disebut pengetahuan refleksif, ketika pengetahuan
membuat objektif suatu kodrat dari realitas, seperti
konsep, ide, simbol, mitos, dll.
Pengetahuan disebut juga diskursif, memperhatikan suatu aspek dari benda kemudian aspek lain.
Pengetahuan dalam arti ini menjelaskan sebagai hubungan sebab-akibat, dari prinsip ke konsekuensi dan dari
konsekuensi ke prinsip, dan sebagainya. Seterusnya, ada pula yang disebut
pengetahuan intuitif, memahami secara langsung benda atau situasi dalam salah
satu aspeknya, menyeluruh.
Pengetahuan itu adalah induktif, bila menarik
yang universal dari yang individual, dan sebaliknya deduktif, bila menarik yang individual dari yang universal.
Pengetahuan itu kontemplatif, bila mempertimbangkan benda-benda dalam
dirinya. Pengetahuan itu disebut spekulatif, bila mempertimbangkan dalam
bayangan-bayangan dan ide-ide. Praktis, kalau mempertimbangkan bagaimana
mereka bisa digunakan. Pengetahuan itu sinergis, kalau merupakan akumulasi
subjek.
Istilah Inteligensi diambil dari kata intellectus
dan kata kerja intellegere (bahasa Latin). Kata intellegere terdiri
dari kata intus yang artinya dalam pikiran atau akal, dan kata legere
yang berarti membaca atau menangkap. Kata intellegere dengan ini berarti membaca
dalam pikiran atau akal segala hal dan menangkap artinya yang dalam.
Inteligensi adalah kegiatan dari suatu organisme dalam
menyesuaikan diri dengan situasi-situasi, dengan menggunakan kombinasi
fungsi-fungsi seperti persepsi, ingatan, konseptual, abstraksi, imajinasi,
atensi, konsentrasi. Seleksi relasi, rencana, ekstrapolasi, prediksi,
kontrol (pengendalian), memilih, mengarahkan. Berbeda dengan naluri, kebiasaan,
adat istiadat, hafalan tanpa mempergunakan pikiran, tradisi.
Pada tingkat intelek (pemahaman) yang lebih tinggi,
inteligensi juga dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah-masalah
(soal-soal kebingungan) dengan penggunaan pemikiran abstrak. Tingkat
inteligensi yang lebih tinggi berisi unsur-unsur seperti simbolisasi dan
komunikasi pemikiran abstrak, analisis kritis, dan rekonstruksi untuk
diterapkan pada kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut atau pada situasi-situasi
yang terkait, entah praktis atau teoretis (Lorens Bagus, 1996: 359).
Pengetahuan intelektif yang paling rendah atau yang
paling sederhana adalah penglihatan atau penanggapan (persepsi). Tahap
berikutnya adalah jenis pengetahuan yang muncul secara tiba-tiba tanpa
kesadaran yang memadai, misalnya pada waktu sedang melamun.
Kemudian aprehensi (penampakan) yaitu bentuk pengetahuan di mana sudah terdapat
kesadaran, meskipun subjek menerima apa yang terjadi pada dirinya secara pasif
tanpa diinginkannya. Heidegger dalam pandangan fenomenologi eksistensialnya
antara lain menyebut kegiatan inteligensi ini sebagai sesuatu penerangan atau
satu tindakan penyingkapan dan pemanifestasian (Bertens, 1987: 23). Tahap
berikutnya adalah insight yang merupakan penangkapan intelektual secara
mendadak mengenai objek. Melalui tahap ini inteligensi manusia tidak hanya
menyadari secara pasif apa yang terjadi, tetapi berusaha untuk menangkap esensi
pada
peristiwa tertentu. Tahap
pengetahuan yang semakin kompleks lagi adalah kegiatan bernalar yang bersifat diskursif.
Istilah diskursif dari kata di-curres artinya berlari
ke berbagai arah melalui induksi, deduksi, refleksi, subjektif-objektif, dan
sebagainya (Leahy, 1993: 132). Tahap selanjutnya adalah tahap keputusan sebagai keyakinan akan kebenaran
atau kesalahan dari hasil penyelidikan tertentu. Putusan ini lebih bersifat
reflektif, sebab penguatan atau afirmasi yang diberikan sungguh-sungguh
didasarkan pada landasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Putusan ini juga
lebih bersifat pasti karena pelakunya mengetahui bahwa ia tahu, bukan hanya
kurang lebih dari itu.
Afektif
Manusia bukan saja memiliki kemampuan
kognitif-intelektual, tetapi juga afektivitas. Jelasnya, di samping
pengetahuan, afektivitas juga membuat manusia berada secara aktif dalam
dunianya serta berpartisipasi dengan orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa
dunianya.
Melalui peranan afektivitaslah, manusia tergerakkan
hatinya, keinginannya, dan perasaannya atau ketertarikannya untuk mengamati,
mempelajari, dan mengembangkan pengada-pengada aktual di sekitarnya menjadi
bagian dari proses keberadaannya. Afektivitas tidak sama dengan pengetahuan, namun
menjadi penggerak sekaligus akibat dari proses pengetahuan manusia dalam arti
penerapannya.
Jangan cepat membuat dikotomi mengenai pengetahuan dan
afektivitas. Karena
kemungkinan pengetahuan tertentu hanya tercapai melalui perasaan. Pengetahuan
eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian bebas dan memberi alasan
untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen dari penegasan
intelektual mengenai adanya afektivitas dalam alam pengetahuannya. Cinta
(disebut afektivitas positif) atau benci (disebut afektivitas negatif)
dapat menjadi dasar penentuan bagi suatu tindakan kognitif.
Afektivitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan
selera, kecenderungan. atau apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan
intelektual atau intelligible. Afektivitas adalah satu dari unsur-unsur
pokok naluriah dari manusia.
Perbuatan afektif mengarahkan manusia untuk membuatnya
berada lebih intensif bersama
dengan hal lain, bersifat eksistensial. Pengalaman-pengalaman
afektivitas justru menjadi syarat yang sangat menentukan bagi proses
inteligensi manusia.
Jadi, untuk mencapai afektivitas, subjek harus berada
dalam kondisi dimana subjek akan melahirkan kegiatan afektif. Adapun
kondisi-kondisi tersebut ialah:
Pertama, antara subjek dan objek harus ada ikatan kesamaan atau kesatuan itu
sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan maka tidak akan ada afektivitas.
Sebagai contoh ketika kita berhubungan dengan sebuah objek maka dalam diri
objek terdapat sesuatu yang membuat kita tertarik atau menjauhinya, sesuatu
yang ada pada diri objek pasti juga ada dalam diri subjek yang akhirnya akan
menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau menolak.
Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam kondisi ini, ketika objek dipandang
memiliki sebuah nilai maka subjek akan melahirkan kegiatan afektif, karena
afektivitas itu sendiri adalah berdasar pada kecintaan akan sesuatu maka subjek
pada akhirnya akan melahirkan kegiatan afektif untuk menolak atau menerima.
Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan kognitif, pada kondisi ini subjek
akan dalam melakukan sebuah afektif harus ditunjang dengan sebuah sifat
dasariah yang akan mendorong dia untuk lebih cenderung, selera, berkeinginan
akan sesuatu yang pada akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata
memang sesuai dengan sifat dasariah tersebut.
Keempat, mengenal adalah kausa dari afektivitas. Dalam proses mengenal subjek
akan mengalami kondisi dimana dia harus berusaha mendefinisikan objek yang akan
dikenalinya dan ketika definisi tentang objek tersebut telah tercapai maka pada
akhirnya akan lahir sebuah keputusan afektif apakah dia harus menyerang,
mencintai, mempertahankan diri atau yang lainnya.
Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan kegiatan afektif maka imajinasi dapat
menjadi sebuah pendorong, semangat, mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan
pertama (baik dari pengalaman atau informasi dari pengenalan) akan melahirkan
sebuah deskripsi awal tentang objek, maka dalam kondisi ini subjek akan
dipengaruhi untuk bertindak seperti apa yang ia dapat pada
pengalaman-pengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan terdahulu.
Kebebasan
Manusia merealisasikan dirinya secara penuh jika
bebas. Gagasan kebebasan semacam ini
selalu aktual dalam hidup manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang
tidak bisa dipisahkan dari diri manusia, juga karena kebebasan itu dalam
kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile". Manusia
adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus
senantiasa memperjuangkan kebebasannya.
Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak
bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih
diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada
masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin
berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang
membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga
mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya
berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti
bebas untuk mengaktualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini.
Manusia yang bebas adalah manusia yang memilih sendiri perbuatannya.
Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia
disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung
jawab atas perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan dengan kemampuan
internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan
pengarahan diri.
“Freedom is self-determination”
Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa
kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang
hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda.
Kebebesan sejati hanya
terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan
kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi
dan kehendak bebas manusia.
Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau
bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan
psikologis.
Sumber :