Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Rabu, 11 Juni 2014

Filsafat Manusia : Pengetahuan, Intelegensi, Afeksi, dan Kebebasan

Pengetahuan

Pengetahuan tidak bisa dipandang seperti memandang suatu objek, dan tidak dapat dijangkau oleh tangan manusia. Pengetahuan itu dikatakan indrawi lahir atau indrawi luar orang mencapainya secara langsung, melalui indera, pada setiap peristiwa yang mengelilinginya. Permasalahan kritis di sini adalah kompleksitas pengetahuan manusia yang sulit dijangkau secara lengkap, utuh, dan paripurna oleh budi manusia yang terbatas. 

Pengetahuan selanjutnya disebut perseptif, ketika sambil muncul secara spontan, pengetahuan membuat seseorang menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, seperti gerakan, sikap, tingkah laku, dll. Ada juga yang disebut pengetahuan refleksif, ketika pengetahuan membuat objektif suatu kodrat dari realitas, seperti konsep, ide, simbol, mitos, dll.
 
Pengetahuan disebut juga diskursif, memperhatikan suatu aspek dari benda kemudian aspek lain. Pengetahuan dalam arti ini menjelaskan sebagai hubungan sebab-akibat, dari prinsip ke konsekuensi dan dari konsekuensi ke prinsip, dan sebagainya. Seterusnya, ada pula yang disebut pengetahuan intuitif, memahami secara langsung benda atau situasi dalam salah satu aspeknya, menyeluruh.

Pengetahuan itu adalah induktif, bila menarik yang universal dari yang individual, dan sebaliknya deduktif, bila menarik yang individual dari yang universal. Pengetahuan itu kontemplatif, bila mempertimbangkan benda-benda dalam dirinya. Pengetahuan itu disebut spekulatif, bila mempertimbangkan dalam bayangan-bayangan dan ide-ide. Praktis, kalau mempertimbangkan bagaimana mereka bisa digunakan. Pengetahuan itu sinergis, kalau merupakan akumulasi subjek

Istilah Inteligensi diambil dari kata intellectus dan kata kerja intellegere (bahasa Latin). Kata intellegere terdiri dari kata intus yang artinya dalam pikiran atau akal, dan kata legere yang berarti membaca atau menangkap. Kata intellegere dengan ini berarti membaca dalam pikiran atau akal segala hal dan menangkap artinya yang dalam.

Inteligensi adalah kegiatan dari suatu organisme dalam menyesuaikan diri dengan situasi-situasi, dengan menggunakan kombinasi fungsi-fungsi seperti persepsi, ingatan, konseptual, abstraksi, imajinasi, atensi, konsentrasi. Seleksi relasi, rencana, ekstrapolasi, prediksi, kontrol (pengendalian), memilih, mengarahkan. Berbeda dengan naluri, kebiasaan, adat istiadat, hafalan tanpa mempergunakan pikiran, tradisi. 

Pada tingkat intelek (pemahaman) yang lebih tinggi, inteligensi juga dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah-masalah (soal-soal kebingungan) dengan penggunaan pemikiran abstrak. Tingkat inteligensi yang lebih tinggi berisi unsur-unsur seperti simbolisasi dan komunikasi pemikir­an abstrak, analisis kritis, dan rekonstruksi untuk diterapkan pada kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut atau pada situasi-situasi yang terkait, entah praktis atau teoretis (Lorens Bagus, 1996: 359).

Pengetahuan intelektif yang paling rendah atau yang paling sederhana adalah penglihatan atau penanggapan (persepsi). Tahap berikutnya ada­lah jenis pengetahuan yang muncul secara tiba-tiba tanpa kesadaran yang memadai, misalnya pada waktu sedang melamun. Kemudian aprehensi (penampakan) yaitu bentuk pengetahuan di mana sudah terdapat kesadaran, meskipun subjek menerima apa yang terjadi pada dirinya secara pasif tanpa diinginkannya. Heidegger dalam pandangan fenomenologi eksistensialnya antara lain menyebut kegiatan inteligensi ini sebagai sesuatu penerangan atau satu tindakan penyingkapan dan pemanifestasian (Bertens, 1987: 23). Tahap berikutnya adalah insight yang merupakan penangkapan intelektual secara mendadak mengenai objek. Melalui tahap ini inteligensi manusia tidak hanya menyadari secara pasif apa yang terjadi, tetapi berusaha untuk menangkap esensi pada peristiwa tertentu. Tahap pengetahuan yang semakin kompleks lagi adalah kegiatan bernalar yang bersifat diskursif. Istilah diskursif dari kata di-curres artinya berlari ke berbagai arah melalui induksi, deduksi, refleksi, subjektif-objektif, dan sebagainya (Leahy, 1993: 132). Tahap selanjutnya adalah tahap keputusan sebagai keyakinan akan kebenaran atau kesalahan dari hasil penyelidikan tertentu. Putusan ini lebih bersifat reflektif, sebab penguatan atau afirmasi yang diberikan sungguh-sungguh didasarkan pada landasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Putusan ini juga lebih bersifat pasti karena pelakunya mengetahui bahwa ia tahu, bukan hanya kurang lebih dari itu.

Afektif

Manusia bukan saja memiliki kemampuan kognitif-intelektual, tetapi juga afektivitas. Jelasnya, di samping pengetahuan, afektivitas juga membuat manusia berada secara aktif dalam dunianya serta berpartisipasi dengan orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa dunianya. 

Melalui peranan afektivitaslah, manusia tergerakkan hatinya, keinginannya, dan perasaannya atau ketertarikannya untuk mengamati, mempelajari, dan mengembangkan pengada-pengada aktual di sekitarnya menjadi bagian dari proses keberadaannya. Afektivitas tidak sama dengan pengetahuan, namun menjadi penggerak sekaligus akibat dari proses pengetahuan manusia dalam arti penerapannya.

Jangan cepat membuat dikotomi mengenai pengetahuan dan afektivitas. Karena kemungkinan pengetahuan tertentu hanya tercapai melalui perasaan. Pengetahuan eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian bebas dan memberi alasan untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen dari penegasan intelektual mengenai adanya afektivitas dalam alam pengetahuannya. Cinta (disebut afektivitas positif) atau benci (disebut afektivitas negatif) dapat menjadi dasar penentuan bagi suatu tindakan kognitif. 

Afektivitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan selera, kecenderungan. atau apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan intelektual atau intelligible. Afektivitas adalah satu dari unsur-unsur pokok naluriah dari manusia. 

Perbuatan afektif mengarahkan manusia untuk membuatnya berada lebih intensif bersama dengan hal lain, bersifat eksistensial. Pengalaman-pengalaman afektivitas justru menjadi syarat yang sangat menentukan bagi proses inteligensi manusia.

Jadi, untuk mencapai afektivitas, subjek harus berada dalam kondisi dimana subjek akan melahirkan kegiatan afektif. Adapun kondisi-kondisi tersebut ialah: 
Pertama, antara subjek dan objek harus ada ikatan kesamaan atau kesatuan itu sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan maka tidak akan ada afektivitas. Sebagai contoh ketika kita berhubungan dengan sebuah objek maka dalam diri objek terdapat sesuatu yang membuat kita tertarik atau menjauhinya, sesuatu yang ada pada diri objek pasti juga ada dalam diri subjek yang akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau menolak.
Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam kondisi ini, ketika objek dipandang memiliki sebuah nilai maka subjek akan melahirkan kegiatan afektif, karena afektivitas itu sendiri adalah berdasar pada kecintaan akan sesuatu maka subjek pada akhirnya akan melahirkan kegiatan afektif untuk menolak atau menerima.
Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan kognitif, pada kondisi ini subjek akan dalam melakukan sebuah afektif harus ditunjang dengan sebuah sifat dasariah yang akan mendorong dia untuk lebih cenderung, selera, berkeinginan akan sesuatu yang pada akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata memang sesuai dengan sifat dasariah tersebut.
Keempat, mengenal adalah kausa dari afektivitas. Dalam proses mengenal subjek akan mengalami kondisi dimana dia harus berusaha mendefinisikan objek yang akan dikenalinya dan ketika definisi tentang objek tersebut telah tercapai maka pada akhirnya akan lahir sebuah keputusan afektif apakah dia harus menyerang, mencintai, mempertahankan diri atau yang lainnya.
Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan kegiatan afektif maka imajinasi dapat menjadi sebuah pendorong, semangat, mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan pertama (baik dari pengalaman atau informasi dari pengenalan) akan melahirkan sebuah deskripsi awal tentang objek, maka dalam kondisi ini subjek akan dipengaruhi untuk bertindak seperti apa yang ia dapat pada pengalaman-pengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan terdahulu.

Kebebasan

Manusia merealisasikan dirinya secara penuh jika bebas.  Gagasan kebebasan semacam ini selalu aktual dalam hidup manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia, juga karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile". Manusia adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus senantiasa memperjuangkan kebebasannya. 

Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengaktualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini.

Manusia yang bebas adalah manusia yang memilih sendiri perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. 

“Freedom is self-determination” Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebesan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia.

Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis.

Sumber :

disarikan dari website binus, materi Human Philosophical Reflections 2: Knowledge, Intelligence, Affection, and Freedom http://binusmaya.binus.ac.id pada 11 Juni 2014 pukul 21:00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar