Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Senin, 17 Maret 2014

Gender dan Budaya pada Suku Minangkabau



Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai budaya dari Suku Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut adat matrilineal. Berikut adalah hasil reportase penulis dengan beberapa orang yang memiliki latar belakang suku Minangkabau. Matrilineal berasal dari bahasa latin yaitu mater yang berarti ibu dan linea yang berarti garis. Jadi matrilineal adalah mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara bahasa lain dari matrilineal adalah matriarkhat yang berasal dari bahasa yunani yaitu mater yang berarti ibu dan archein yang berarti memerintah. Jadi matriarkhi/matriarkhat berarti kekuasaan berada di tangan seorang ibu atau pihak perempuan


gambar 1. Rumah Gadang

Dalam sistem keturunan matrilineal/matriahat di Minangkabau ini, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut samando atau urang samando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya di mana dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis-keturunan itu. Secara tradisi, setidak-tidaknya, tanggung jawabnya berada di situ. Dia adalah wali dari garis-keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya.

Tidak pula dia diberi tempat di rumah orangtuanya (garis ibu/matrilineal) oleh karena semua bilik hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari. Posisi kaum laki-laki yang goyah ini yang memotivasi lelaki Minang untuk merantau. Maka biasanya, ketika musim libur tiba sebuah keluarga yang datang dari perantauan akan tinggal di rumah orangtua sang istri (ibu), sementara rumah orangtua dari sang suami (ayah) hanya menjadi tempat singgah saja.

Begitu pula soal cucuk, di suku minangkabau cucuk dibagi menjadi dua macam, cucuk kandung dan cucuk di atas rumah orang. Cucuk kandung ialah anak yang lahir dari keturunan perempuan dalam keluarga tersebut, sedangkan cucuk di atas rumah orang ialah anak yang lahir dari keturunan laki-lakinya.


gambar 2. Pohon Silsilah (Matrilineal)

ditambah lagi di dalam budaya minangkabau di daerah pariaman terkenal pula dengan adat “beli” suami, semakin tinggi status sosial pada seorang laki-laki maka akan semakin tinggi pula harga yang harus dibayarkan pihak perempuan yang ingin menikah dengan laki-laki tersebut. Banyak sekali budaya dalam suku ini yang menyentuh pemahaman gender berbeda dari mayoritas. Acara lamar-melamarpun di dalam suku ini harus pihak perempuan yang mendatangi kediaman pihak laki-laki.

“Sipisang” juga menjadi sebuah istilah yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya di minangkabau untuk seorang anak yang bapaknya keturunan minangkabau tetapi ibunya bukan keturunan minangkabau.

Secara sederhana kita bisa memetakan hipotesis bahwa dengan adanya basis kultural yang kuat tentang peran perempuan maka masyarakat Minangkabau telah mengenal dengan baik konsep keadilan gender. Tetapi, pada kenyataanya hipotesis tersebut tidak bisa ditemukan kebenarannnya. Perempuan Minangkabau tetap bermain di domain domestik, bukan turun langsung ke domain publik. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Salah satunya adalah penerapan standar ganda dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Mereka memang menggunakan sistem matrilineal yang lebih cenderung fokus kepada perempuan, tetapi disisi lain masyarakat Minangkabau adalah penganut ajaran Islam yang taat, dimana Islam notabene adalah ajaran yang memiliki basis patriarki yang kuat.


Sangat bertolak belakang dengan kondisi Patrilineal yang diterapkan di kebudayaan pribadi penulis, Nanggroe Aceh Darussalam. NAD sangatlah keras akan garis keturunan laki-laki. Seperti halnya di keluarga besar saya walaupun perempuan memiliki juga suara di dalam rumah, tetapi suara laki-laki lah yang besar kemungkinan dapat ditarik dalam pencarian solusi di dalam keluarga. Terkecuali jika posisinya terdesak ataupun tidak ada lagi yang dapat dipercayakan untuk pengambilan keputusan. Hal ini menjadi perbandingan yang cukup kontras mengingat bahwa NAD dan Minangkabau adalah sesama penganut ajaran Islam, walaupun saat ini kumpul keluarga besar dalam pencarian sebuah solusi sudah sangat jarang ditemukan.


disarikan dari :


1. Naim, Mochtar. 1984. Merantau pola migrasi suku Minangkabau. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

2. diunduh dari halaman Pelaminan Minang diakses pada 17 Maret 2014 pukul 14:21 WIB http://www.pelaminanminang.com/adat-minangkabau/matrilineal.html

3. diunduh dari halaman wikipedia diakses pada 17 Maret 2014 pukul 14:19 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal

4. diunduh dari tumblr milik Irhaam diakses pada 17 Maret 2014 pukul 14:35 WIB http://irhaam.tumblr.com/post/13779739931/representasi-perempuan-di-ranah-matrilineal


Selasa, 11 Maret 2014

understanding gender

What is Gender?

For many people, the terms “gender” and “sex” are interchangeable. This idea has become so common, particularly in western societies, that it is rarely questioned. Yet biological sex and gender are different; gender is not inherently connected to one’s physical anatomy. 

Sex is biological and includes physical attributes such as sex chromosomes, gonads, sex hormones, internal reproductive structures, and external genitalia. At birth, it is used to identify individuals as male or female.  Gender on the other hand is far more complicated. Along with one’s physical traits, it is the complex interrelationship between those traits and one’s internal sense of self as male, female, both or neither as well as one’s outward presentations and behaviors related to that perception.

The Gender Spectrum

Western culture has come to view gender as a binary concept, with two rigidly fixed options: male or female.  When a child is born, a quick glance between the legs determines the gender label that the child will carry for life. But even if gender is to be restricted to basic biology, a binary concept still fails to capture the rich variation observed. Rather than just two distinct boxes, biological gender occurs across a continuum of possibilities. This spectrum of anatomical variations by itself should be enough to disregard the simplistic notion of only two genders.

But beyond anatomy, there are multiple domains defining gender. In turn, these domains can be independently characterized across a range of possibilities.  Instead of the static, binary model produced through a solely physical understanding of gender, a far more rich texture of biology, gender expression, and gender identity intersect in multidimensional array of possibilities. Quite simply, the gender spectrum represents a more nuanced, and ultimately truly authentic model of human gender.

Falling Into Line

Gender is all around us. It is actually taught to us, from the moment we are born. Gender expectations and messages bombard us constantly. Upbringing, culture, peers, community, media, and religion, are some of the many influences that shape our understanding of this core aspect of identity. How you learned and interacted with gender as a young child directly influences how you view the world today. Gendered interaction between parent and child begin as soon as the sex of the baby is known. In short, gender is a socially constructed concept.

Like other social constructs, gender is closely monitored by society. Practically everything in society is assigned a gender—toys, colors, clothes and behaviors are some of the more obvious examples. Through a combination of social conditioning and personal preference, by age three most children prefer activities and exhibit behaviors typically associated with their sex. Accepted social gender roles and expectations are so entrenched in our culture that most people cannot imagine any other way. As a result, individuals fitting neatly into these expectations rarely if ever question what gender really means. They have never had to, because the system has worked for them.

About Gender Diversity

Gender diversity is a term that recognizes that many peoples' preferences and self-expression fall outside commonly understood gender norms. Gender diversity is a normal part of human expression, documented across cultures and recorded history. Non-binary gender diversity exists throughout the world, documented by countless historians and anthropologists. Examples of individuals living comfortably outside of typical male/female identities are found in every region of the globe. The calabai, and calalai of Indonesia, two-spirit Native Americans, and the hijra of India all represent more complex understandings of gender than the simplistic model seen in the west.

Further, what might be considered gender nonconformity in one period of history may become gender normative in another. One need only examine trends related to men wearing earrings or women sporting tattoos to quickly see the malleability of social expectations about gender. Even the seemingly intractable “pink is for girls, blue is for boys” notions are relatively new. While there is some debate about the reasons why they reversed, what is well documented is that until the 1950s, pink was seen as a more decided and stronger color, and thus more suitable for a boy, while blue, viewed more delicate and dainty, was commonly worn by girls.

Gender Terminology

Given the complexity of gender, it is not surprising that an increasing number of terms and phrases are developing to describe it. Below are some of the key terms you might encounter:

Biological/Anatomical Sex.
The physical structure of one’s reproductive organs that is used to assign sex at birth. Biological sex is determined by chromosomes (XX for females; XY for males); hormones (estrogen/progesterone for females, testosterone for males); and internal and external genitalia (vulva, clitoris, vagina for assigned females, penis and testicles for assigned males). Given the potential variation in all of these, biological sex must be seen as a spectrum or range of possibilities rather than a binary set of two options.

Gender Identity. One's innermost concept of self as male or female or both or neither—how individuals perceive themselves and what they call themselves. One’s gender identity can be the same or different than the sex assigned at birth. Individuals are conscious of this between the ages 18 months and 3 years. Most people develop a gender identity that matches their biological sex. For some, however, their gender identity is different from their biological or assigned sex. Some of these individuals choose to socially, hormonally and/or surgically change their sex to more fully match their gender identity.

Gender Expression. Refers to the ways in which people externally communicate their gender identity to others through behavior, clothing, haircut, voice, and other forms of presentation. Gender expression also works the other way as people assign gender to others based on their appearance, mannerisms, and other gendered characteristics. Sometimes, transgender people seek to match their physical expression with their gender identity, rather than their birth-assigned sex. Gender expression should not be viewed as an indication of sexual orientation.

Gender Role. This is the set of roles, activities, expectations and behaviors assigned to females and males by society. Our culture recognizes two basic gender roles: Masculine (having the qualities attributed to males) and feminine (having the qualities attributed to females). People who step out of their socially assigned gender roles are sometimes referred to as transgender. Other cultures have three or more gender roles.

Transgender.
Sometimes used as an umbrella to describe anyone whose identity or behavior falls outside of stereotypical gender norms. More narrowly defined, it refers to an individual whose gender identity does not match their assigned birth gender. Being transgender does not imply any specific sexual orientation (attraction to people of a specific gender.) Therefore, transgender people may additionally identify as straight, gay, lesbian, or bisexual.

Sexual Orientation.
Term that refers to being romantically or sexually attracted to people of a specific gender. Our sexual orientation and our gender identity are separate, distinct parts of our overall identity. Although a child may not yet be aware of their sexual orientation, they usually have a strong sense of their gender identity.

Gender Normative/Cisgender. Refers to people whose sex assignment at birth corresponds to their gender identity and expression.

Gender Fluidity. Gender fluidity conveys a wider, more flexible range of gender expression, with interests and behaviors that may even change from day to day. Gender fluid children do not feel confined by restrictive boundaries of stereotypical expectations of girls or boys. In other words, a child may feel they are a girl some days and a boy on others, or possibly feel that neither term describes them accurately.

sumber :
 https://www.genderspectrum.org/understanding-gender

Kamis, 06 Maret 2014

metafisika dan ontologi

Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang telah saya presentasikan di kelas pada tanggal 6 Maret 2014.

Metafisika Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam" adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi mengenai realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.

Metafisika juga berarti berusaha memperoleh pengetahuan tentang ide. Karena perspektif spekulatif tradisional gagal dalam tugas ini, Kant menyarankan perspektif baru yang hipotetis untuk metafisika. Metafisika bisa berhasil hanya bila didahului dengan Kritik.

Metafisika mempunyai arti filosofis, yang berlandaskan pada ilmu yang ada, karena setelah dan melebihi yang fisika (post physicam et supra physicam). Artinya masalah metafisika adalah masalah yang paling dasar dan menjadi inti dalam filsafat, karena metafisika mempersoalkan eksisitensi Sang Ada sebagai jawaban terakhir dari semua proses perubahan. Adanya pengakuan atas Sang Ada sebagai sebab yang tidak disebabkan, sebagai penggerak yang tidak digerakkan, realitas yang selalu berubah ini tidak menjadi absurd, tetapi masuk dalam akal dan dapat dipikirkan.

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno berasal dariYunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara kenampakan dengan kenyataan. Begitu pula yang terpenting bahwa segala sesuatu tidaklah hanya berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
  1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
  2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
 http://binusmaya.binus.ac.id/
http://staffweb.hkbu.edu.hk/ppp/pf/PKglos.htm
 http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1-2004-mistoyonim-1554-bab2_419-3.pdf

Rabu, 05 Maret 2014

sekilas tentang Antropologi

Antropologi berasal dari kata anthropos, yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Menurut Haviland (1994;7) antropologi adalah sebuah studi tentang setiap manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap, mengenai keanekaragaman manusia.
 
Filsuf awal yang melakukan penelitian terkait antropologi berasal dari Yunani, seperti Herodotus (500 SM), Aristoteles (400 SM), dan Strabo (100 SM). Dalam era sebelum masehi, filsuf Romawi Lucretius memberi kontribusi signifikan pada antropologi. Sementara pada era setelah masehi, filsuf seperti Tacitus, Aquinas, dan Polo adalah orang-orang yang memberi kontribusi signifikan pada antropologi. Sejarawan sering mengklaim bahwa antropologi sebagai suatu disiplin ilmu mulai berkembang selama periode Renaissance. Antropologi berkembang dari disiplin ilmu lain seperti ilmu sosial dan budaya, arkeologi, sosiologi, dan sejarah.

Istilah ‘antropologi’ diciptakan di Jerman pada abad ke-16 oleh profesor universitas Jerman. Beberapa cendekiawan yang mencoba membedakan antropologi sebagai cabang keilmuan tersendiri adalah Michel de Montaigne, Jean Bodin, Blaise Pascal, dan Rene Descartes, yang semuanya merupakan orang Perancis. Dua cendekiawan Inggris yang juga memberikan kontribusi pada antropologi adalah John Locke dan David Hume. Filsuf Jerman, Immanuel Kant, dan filsuf Belanda, Baruch Spinoza, dianggap sebagai bapak antropologi awal. Sedangkan karya revolusioner dalam antropologi ditulis oleh Charles Darwin. Dia menulis ‘The Voyage of the Beagle’ yang diterbitkan pada tahun 1845 dan ‘On the Origin of Species’ yang terbit pada tahun 1859. Publikasi penting lain terkait antropologi ditulis oleh naturalis Perancis, Georges Buffon, berjudul ‘Histoire Naturelle’. ‘Histoire Naturelle’ adalah sebuah ensiklopedia di mana 2 dari total 44 volume didedikasikan untuk antropologi. Antropologi modern sangat dipengaruhi oleh karya-karya antropolog budaya Amerika, Margaret Mead, selama pertengahan abad ke-20.

Cabang-cabang Antropologi

1. Antropologi Budaya
Budaya amat penting dan tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Budaya merupakan kumpulan keseluruhan pengetahuan, moral, tradisi, seni, dan adat istiadat yang kita pelajari sebagai bagian dari masyarakat. Budaya diteruskan dari generasi ke genaresi melalui kata-kata dan simbol. Antropologi budaya berfokus pada upaya memahami logika di balik norma-norma budaya. Cabang antropologi ini mendasarkan pada filosofi bahwa tidak ada praktek tradisi atau budaya yang salah. Sebagai contoh, melukai tubuh hingga timbul jaringan parut mungkin tampak aneh bagi kita. Namun bagi suku-suku di Afrika, ritual ini merupakan praktik yang relevan bahkan memiliki arti penting. Antropologi budaya dapat mempelajari masyarakat terasing yang tinggal di tengah hutan, atau berkonsentrasi pada segmen tertentu dari masyarakat modern seperti sektor korporasi, buruh, atau penghuni kawasan kumuh.

2. Antropologi Linguistik
Bahasa merupakan agen penting dari transmisi budaya. Hanya manusia yang memiliki keunggulan bahasa yang tidak dimiliki oleh spesies lain. Antropologi linguistik berupaya memahami asal-usul dan evolusi bahasa dan tradisi lisan berbagai mayarakat dunia. Lingkup cabang keilmuan ini mencakup masa prasejarah untuk menemukan hubungan antar budaya dan mengeksplorasi makna dari konsep verbal untuk kemudian menghubungkannya dengan masa kekinian.
Selain mempelajari bahasa dalam aspek budaya, antropologi linguistik juga berusaha memahami implikasi biologis dari bahasa. Hal ini melibatkan studi pada perubahan otak dan tubuh yang memungkinkan manusia mengatur suara yang kemudian berkembang menjadi bahasa.

3. Arkeologi
Arkeologi berkaitan dengan usaha mempelajari sisa-sisa fisik dari suatu budaya masa lalu. Manusia meninggalkan petunjuk tentang cara hidup mereka tidak hanya dalam kata-kata dan huruf, tetapi juga dalam bentuk materi fisik seperti bangunan, monumen, prasasti, alat-alat, dan pemakaman. Semua peninggalan ini mengungkapkan informasi penting tentang keyakinan dan tradisi dari sebuah peradaban. Misalnya, lukisan di dinding makam berpotensi menjelaskan status orang yang dimakamkan di sana. Selain itu, mempelajari situs pemakaman dapat membantu para arkeolog memahami keyakinan agama dari masyarakat tertentu.

4. Antropologi Biologi
Antropologi biologi, juga dikenal sebagai antropologi fisik, berkaitan dengan upaya menelusuri asal-usul biologis, perubahan evolusioner, dan keragaman genetik spesies manusia. Dalam prosesnya, antropologi biologi mempelajari pula perilaku primata dan variasi anatomi antara primata dan manusia untuk memahami perubahan fisik yang terjadi akibat proses evolusi. Antropologi biologi bahkan mencakup upaya analisis genetik dan studi antropometrik untuk menemukan alasan di balik perbedaan fisik antara orang-orang dari kelompok yang berbeda.

Cabang Lain Antropologi
Selain cabang-cabang utama diatas, antropologi juga memiliki cabang lain seperti antropologi forensik, antropologi medis, dan antropologi ekologi. Meskipun setiap cabang antropologi adalah bidang studi khusus, semuanya sebenarnya saling terkait.

referensi :
http://www.amazine.co/22235/ilmu-tentang-manusia-ketahui-4-cabang-antropologi/
http://www.amazine.co/22246/sejarah-antropologi-dari-aristoteles-hingga-margaret-mead/

Kamis, 27 Februari 2014

Sedikit pembuka ..

 Setiap manusia diberkahi kemampuan untuk berfikir, kemudian menganalisa mengenai apa yang terjadi di sekitarnya. Awalnya filsafat adalah sebuah usaha berfikir dalam menelaah manusia dan alam, kemudian dengan berjalannya waktu terjadilah spesifikasi. Seperti contohnya pada filsafat alam yang kemudian berkembang menjadi ilmu astronomi, biologi, geologi dan lain sebagainya. Filsafat manusia berkembang menjadi bidang psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Seiring berjalannya waktu, segalanya kerap kali berkembang menjadi sub bidang dari ilmu-ilmu yang dipalajari di masa sebelumnya dan memperluas cangkupan atas apa yang sudah disajikan oleh para ilmuan.

 Materi filsafat pada jaman dahulu terbagi menjadi das solen mengenai bagaimana seharusnya yang terjadi di dalam masyarakat, dan das sein bagaimana kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat.

 Ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku manusia dalam lingkungan sekitarnya ini yang kemudian disebut bidang sosiologi dikembangkan di tahun-tahun pertamanya oleh Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), lalu Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jaques Rousseau ikut serta berperan dalam pengembangan ilmu tersebut. Sampai akhirnya di awal tahun 1800-an munculah Sang Bapak Sosiologi, August Comte yang kemudian mencetuskan istilah Sosiologi pada tahun 1839, memulai kajian sosial menggunakan metode ilmiah.

Rabu, 26 Februari 2014

Welcome to my world :)

Halooo :D


Intro dulu ya, nama saya Hanina Arfiati biasanya dipanggil Hani tapi karena banyak pihak yang juga merasa harus dipanggil Hani jadi kalian boleh panggil saya apa aja kok (mudah-mudahan saya nengok) :) 
Alhamdulillah saat ini saya menempuh pendidikan S1 jurusan Psikologi di Universitas Bina Nusantara (BINUS) doakan lancar ya! Sejujurnya ini udah blog saya yang ketiga, untuk menunjang perkuliahan saya atas permintaan pihak dosen di mata kuliah Filsafat (Ilmu Sosial untuk Psikologi : Filsafat Manusia, Sosiologi, dan Antropologi) semoga selain menjadi penambah nilai tugas Filsafat juga menjadi lahan saya untuk terus memperkaya ilmu secara mendalam, aamiin ..


first, I want you to know my self :)

hello :D it's me!
 
 
 
My Volkstare :* I love them

Mereka yang sudah mengisi hari-hari saya saat "diasingkan" di kaki gunung salak. Banyak hal yang mendewasakan saya secara mental di sana, ketemu pula sama guru-guru yang LUAR BIASA :) yeay! Benar-benar menjadi rumah kedua, SMA Insan Cendekia Al-Kausar Boarding School ..

Okay, segini dulu intronya :) makasih sudah berkunjung.